rss

Rabu, 23 Desember 2009

Masyarakat Mee Menyiasati Bahaya HIV/AIDS

Tidak dapat dipungkiri bahwa HIV/AIDS sebagai penyakit yang mematikan sedang merajalela di berbagai pelosok dunia, termasuk kita di Indonesia. Demikian pula kini Papua sebagai provinsi yang tertinggi konsentrasi penderita HIV/AIDS di Indonesia. Telah tercatat jumlah pengidap positif HIV/AIDS yang diketahui sebanyak 3.252 orang. Berdasarkan informasi dan data tersebut, kini orang Papua mengibaratkan penyakit ini sebagai bom bagi semua orang di Tanah Papua, dan secara khusus ancaman besar orang asli Papua yang kian minoritas di negerinya.

Dari realitas itu, orang asli Papua melihat penyakit ini sebagai suatu ancaman yang membawa pada kepunahan. Pandangan ini muncul dalam berbagai diskusi ketika adanya informasi bahwa orang yang mengidap HIV/AIDS terbanyak di Papua ialah orang asli Papua. Dalam situasi demikian, orang asli Papua seringkali bertanya-tanya dalam dirinya dan akhirnya sampai pada suatu anggapan bahwa penyakit ini sengaja dibawa orang luar untuk memusnahkan orang asli Papua. Pertanyaannya, apakah benar penyakit mematikan ini sengaja dibawa orang untuk memusnahkan orang asli Papua? Ataukah penyakit ini memang diperuntukkan bagi orang asli Papua, lantas non Papua ialah orang yang kebal dengan penyakit ini?

Menurut hemat kami, kita tidak perlu saling menuding atau melemparkan kesalahan pada orang lain atas penyebaran penyakit mematikan ini. Setiap orang di Tanah Papua hendaknya kembali dalam dirinya untuk merefleksikan (renung) lebih jauh atas realitas penyebaran penyakit itu.
Saya katakan demikian karena dengan jalan berefleksi-lah orang akan mengetahui akar persoalan yang sebenarnya dari penyebaran virus HIV/AIDS. Juga dengan jalan itu pula orang akan menyadari bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan siapa saja tanpa memandang latar belakang tertentu. Selanjutnya orang tentu diarahkan untuk mengarahkan diri dan hidupnya ke depan dalam rangka menghindari diri dari ancaman virus tersebut. Apalagi salah satu cara penularan penyakit ini yang juga merupakan penularan terbanyak di Papua ialah melalui hubungan seksual (bebas).

Melakukan hubungan seksual tentu tidak dibatasi, didorong atau dipaksakan oleh orang lain untuk melakukannya, tetapi kembali pada diri tiap orang untuk memilih yang terbaik bagi keselamatan dan kebahagiaan diri dalam hidupnya.

Berkaitan dengan putusan memilih tersebut tentu tidak bisa terlepas pula dari pertimbangan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan agama maupun aturan adat di mana tiap orang lahir, tumbuh dan berkembang dalam komunitas masyarakat. Perlu diingat bahwa ajaran agama dan aturan adat pada prinsipnya mengarahkan orang berkembang secara manusiawi menuju keselamatan dan kebahagiaan tiap orang. Oleh karena itu, berlandaskan ajaran agama dan aturan adat, setiap orang hendaknya memilih dan menyatakan perbuatan yang terpuji, yang lebih manusiawi agar ia dapat terhindar dari berbagai hal yang mendatangkan kemalangan dan penderitaan dalam hidupnya. Justru itulah kiranya penting setiap orang harus kembali mengamalkan ajaran agama dan norma-norma adat yang kini semakin diabaikan mayoritas masyarakat.

Demikian pula masyarakat suku Mee semestinya menjunjung tinggi ajaran, norma-norma adat dalam menyatakan sikap atau tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mengamalkan norma-norma adat yang mengajarkan dan menjamin setiap orang Mee untuk menghindari dari penyakit seperti HIV/AIDS yang mendatangkan kemalangan dan penderitaan dalam hidup ini.


Mogai, Faktor Utama Kemalangan Hidup

Istilah "Mogai" bukanlah istilah yang baru muncul bersamaan dengan adanya informasi penyebaran penyakit HIV/AIDS. Istilah tersebut sudah ada dan telah dipergunakan masyarakat Mee dari generasi ke generasi hingga kini. Istilah "mogai" sangat berkaitan erat dengan informasi bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS terbanyak di Papua ialah melalui hubungan seks bebas yang dipahami masyarakat Mee sebagai "Mogai".


Masyarakat Mee memakai kata "Mogai" untuk menyebut perbuatan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah (bebas), yakni persetubuhan yang dilakukan oleh satu pasangan manusia muda, suami atau istei orang dengan perempuan atau laki-laki muda. Atau juga persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan setan yang suka menjelma sebagai manusia (abee yagamo).
Perbuatan tersebut dinilai masyarakat Mee sebagai perilaku yang menyimpang dari norma adat. Hal ini perlu digaribawahi bahwa masyarakat Mee memahami seks itu suci, sakral yang tidak diperbolehkan anggota masyarakat melakukannya secara sembarang.

Kepada setiap orang suku Mee diajarkan "mogaitaiko daa", artinya jangan berbuat zinah, jangan melakukan seks bebas di luar ikatan yang sah. Sebab itu, masyarakat Mee menilai orang yang melakukan mogai sebagai orang yang keliru dalam proses berpikir, keliru mengarahkan pandangan dalam menyatakan sesuatu secara tepat.

Berlandaskan konsep ini, masyarakat Mee berkeyakinan bahwa kekeliruan berpikir, mempertimbangkan dan bertindak itu tentu akan mendatangkan malapetaka bagi dirinya. Konsep Mogai dilihat sebagai suatu proses kekeliruan seseorang ini muncul karena dalam budaya masyarakat Mee diajarkan bahwa "dou gaii tiyakee ekowai", artinya ketika seseorang berhadapan dengan realitas (melihat) ia harus berpikir dan mempertimbangkannya sebelum memutuskan menyatakan sikap tertentu. Atau dengan kata lain, ketika ia melihat realitas, ia harus mempertimbangkan lalu berbuat (bertindak). Dan bukan ketika melihat realitas ia langsung bertindak tanpa mempertimbangkan dampak dari perbuatannya.


Norma larangan masyarakat Mee dalam melakukan Mogai, bertitik tolak pada adanya keyakinan yang biasanya menjadi kenyataan bahwa siapa saja orang Mee yang melakukan perbuatan Mogai pasti akan mengalami kemalangan dalam hidupnya. Dalam hidupnya ia akan ditimpa musibah, misalnya sakit berbulan-bulan atau sakit menahun, celaka dalam perjalanan, sulit melahirkan anak bahkan akan mendatangkan maut bagi dirinya sendiri akibat perbuatan mogai tadi.

Dengan demikian, apabila seseorang warga suku Mee dalam hidupnya mengalami nasib tersebut, maka orang Mee akan menanyakan bahkan memaksa orang yang mengalami nasib malang itu untuk mengakui perbuatannya (mogai odai). Apabila orang tersebut secara jujur mengakui kesalahannya (mogai), maka ada kemungkinan akan merasa ringan dan selamat dari beban penderitaannya. Sebaliknya, apabila orang tersebut tidak mengakui kesalahannya, maka ia akan tambah menderita hingga akhirnya meninggal dunia. Pandangan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi hingga kini. Intinya, norma masyarakat Mee menekankan bahwa dalam hidup bermasyarakat, perbuatan Mogai merupakan sesuatu yang tabuh, yang tidak boleh dilakukan sembarang di luar ikatan perkawinan yang sah.

Patut diakui bahwa norma, aturan adat tersebut kini kurang diamalkan sebagian orang Mee. Ada rupa-rupa alasan yang dapat dikemukakan. Sebagian orang Mee masa kini beranggapan norma adat sebagai sesuatu yang kuno, yang tidak relevan di masa kini. Demikian pula khususnya bagi orang Mee yang hidup di luar komunitas masyarakat Mee di Paniai seringkali beranggapan bahwa norma tersebut hanya berlaku bagi orang yang hidup di Paniai. Juga orang tidak sadar atau seolah-olah merasa tidak memiliki norma adat sebagai penuntun dalam hidupnya. Namun, selain alasan sebagai anak adat yang tidak terlepas dari keterikatan budaya (tradisi, aturan, norma), kini kita pun diperhadapkan dengan persoalan penyebaran HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan siapa saja. Lantas, salah satu cara seseorang tertular penyakit mematikan ini ialah melalui hubungan seks bebas yang nota bene adalah "mogai".


Informasi mengenai bahaya penyakit HIV/AIDS cukup diketahui publik, meskipun kebanyakan masyarakat Mee belum memiliki pemahaman lebih banyak. Dalam masyarakat kita telah dan sedang disosialisasikan HIV/AIDS sebagai penyakit yang berbahaya. Penyakit ini dapat menelan korban nyawa entah siapa saja tanpa membedakan latar belakang tertentu. Lalu, berdasarkan berbagai informasi terungkap bahwa penularan penyakit ini di Papua pada umumnya melalui hubungan seks (bebas) yang meskipun telah dilarang norma tadi.

Namun, apabila seseorang melanggar dan melakukan perbuatan tersebut, maka konsekuensi selain berdosa ialah tuntutan adat dan ancaman bahaya penyakit HIV/AIDS yang hingga kini obat penyembuhnya belum ditemukan. Yang sudah ditemukan hanyalah obat untuk memperpanjang umur atau menambah daya tahan tubuh, namun peredaran obat itupun nampaknya sangat terbatas. Syukur apabila orang yang teridap penyakit ini sempat memperoleh obat memperpanjang umur. Tapi jika sulit mendapatkan obat tersebut, bagaimana pikiran dan perasaannya sementara virus HIV sedang menguasai seluruh tubuhnya. Demikian pula, bagaimana pikiran dan perasaan kita bila kita pun diberitahu telah terinveksi HIV/AIDS? Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya perlu direfleksikan dalam perjalanan hidup tiap orang agar dimampukan untuk menyadari dan mengarah hidup ke depan yang lebih baik.

Dalam konteks adat masyarakat Mee, terinveksi HIV/AIDS melalui Mogai merupakan konsekuensi yang harus ditanggung seseorang akibat ia melanggar aturan, norma adat yang berlaku. Ia dengan kehendak bebasnya memilih perbuatan yang tidak terpuji, yakni melakukan hubungan seks secara bebas di luar ikatan perkawinan yang sah. Ia melakukan mogai yang mencerminkan perbuatan yang tidak setia pada pasangannya. Perbuatannya menunjukkan melanggar aturan adat Mee yang mengajarkan "mogai daa" artinya jangan berzinah. Atau dengan bahasa lain, jangan melakukan hubungan seks secara bebas di luar ikatan perkawinan yang sah. Maka masyarakat Mee menganggap orang yang terinveksi HIV AIDS karena mogai ialah orang yang keliru dalam berpikir dan bertindak.


Bila dikatakan penyebaran penyakit HIV/AIDS terbanyak di Papua ialah melalui hubungan seks (bebas) berarti ini merupakan perilaku yang sedang menjadi kebiasaan, karena jumlah pengidap selalu bertambah dari hari ke hari. Tempat-tempat yang berpotensi menyatakan perilaku menyimpang tersebut ialah di diskotik, bar-bar, hotel-hotel, lokalisasi, di tempat-tempat ramai seperti di terminal-terminal dan bahkan di pinggiran jalan raya, di mana tempat pemuda-pemudi berkumpul di malam hari. Tempat-tempat ini seringkali menjadi tempat idola untuk dikunjungi orang dengan tujuan menikmati suasana baru dan mencari hiburan. Tujuan berkunjung memang sungguh baik, tapi dalam suasana baru disana seringkali membuat para pengunjung terkadang susah mengendalikan diri akibat telah terpengaruh dengan minuman beralkohol. Juga karena berbagai wangian yang membuat suasana enak dinikmati para pengunjung misalnya; wangian si "kaliabo" papan atas alias bunga sedap malam, atau ayam abu-abu (A3) yang diibaratkan masyarakat Mee sebagai perempuan setan. Akhirnya habislah terang sebagai tanda awal kegelapan dalam hidupnya.

Dengan demikian, istilah yang dipakai orang Mee dalam menatap hidup ke depan bahwa "awetakoo enaa apagapiidaa" artinya "hari esok lebih baik daripada hari ini" menjadi awetakoo peu agapidaa yang berarti hari esok lebih tidak baik daripada hari ini. Padahal dalam hidupnya masyarakat Mee diajarkan untuk senantiasa berjuang mempersiapkan masa depan hidupnya yang lebih baik.


Dimii, Kekuatan Menghadapi Kemalangan Hidup
Orang Mee memiliki pandangan dasar bahwa manusia harus berusaha menjadi manusia sejati (Meekai). Bertitik tolak dari pandangan ini, setiap orang Mee diharapkan mempunyai strategi-strategi yang jitu untuk mengendalikan diri dan berlaku sebagai manusia terhadap semua realita kehidupan. Orang Mee harus berusaha mengarahkan serta mengatur pikiran/akal budi (Dimi), ungkapan (Manaa), paradigma, pandangan (Dimii Manaa) dan mengatur tindakan agar mampu menanggapi rahasia realita dan mengetahui dampak yang akan terjadi.

Dengan Dimii (akal budi), setiap orang suku Mee diharapkan mampu menafsirkan, memikirkan dan mempertimbangkan bagaimana ia menghadapi dan mengenal realita kehidupan. Masyarakat Mee berkeyakinan bahwa setiap orang dengan bebas mengaktifkan, menggunakan serta mengarahkan dimii dalam setiap realita kehidupan. Orang seperti inilah yang menurut masyarakat Mee menyebut manusia yang berakal budi (Dimiyago Mee). Oleh karena itu, masyarakat Mee mengajarkan kepada setiap warganya untuk menjadikan akal budi sebagai kakak (Dimiko akauwai awii). Dalam hal ini, mengandaikan bahwa akal budi akan memampukan seseorang berpikir, mempertimbangkan dan bertindak sesuai dengan martabatnya sebagai manusia sejati. Dilandaskan pada akal budi seseorang akan menyatakan sikap yang tepat dan terpuji. Dengan demikian, orang Mee menekankan bahwa setiap orang harus selalu menjadikan akal budi sebagai dasar pokok dalam mengambil keputusan secara matang sebelum ia merealisasikan diri dalam kehidupannya.

Bertolak dari pandangan di atas, masyarakat Mee beranggapan bahwa hidup manusia (mee kaa umitou) itu sebenarnya "bisa dan harus" diarahkan, dibentuk, dicari, artinya agar dapat diaplikasikannya dalam hidup manusia. Manusia seharusnya mampu memanusiakan diri untuk memperlihatkan kesejatiannya sebagai manusia yakni mahkluk berakal budi (dimii yagoo mee), berbahasa/berbicara (manaa) ber-roh (ayaa) dan berhati nurani (kegepaa). Dalam hal ini, orang Mee beranggapan bahwa orang yang bisa mengatur, menggunakan dan memfungsikan dalam hidupnya keempat potensi tersebut, maka ia disebut manusia sejati. Itu sebabnya, kepada setiap orang mee diajarkan agar memfungsikan keempat potensi tersebut dalam perjalanan hidupnya.


Lantas bagaimana pandangan orang Mee terhadap orang yang terinveksi HIV/AIDS akibat hubungan seks bebas? Pada prinsipnya masyarakat Mee beranggapan orang yang terinveksi HIV/AIDS melalui hubungan seks (bebas) sebagai orang yang keliru dalam proses berpikir, keliru mengarahkan pandangan dalam menyatakan sesuatu secara tepat. Anggapan ini muncul karena orang Mee berkeyakinan bahwa kekeliruan berpikir, mempertimbangkan dan bertindak tersebut tentu akan mendatangkan malapetaka bagi dirinya. Misalnya melakukan hubungan seks bebas dan terinveksi HIV/AIDS akibatnya ia sendiri memalangkan masa depan hidup yang diimpikan sebelumnya.

Oleh sebab itu, menurut masyarakat Mee, untuk menyiasati bahaya penyakit HIV AIDS seharusnya kembali kepada keputusan setiap orang sebagai makhluk berakal budi (dimiiyagoo mee). Apabila setiap orang melandasi akal budi dan tidak melakukan perilaku yang beresiko maka tentu ia akan terhindar dari bahaya HIV AIDS. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan perbuatan yang beresiko tanpa dilandasi dengan akal budi, maka tentu akan ada peluang ia mendatangkan malapetaka hidup yakni terinveksi virus HIV yang kini sedang menyebar untuk berdiam di dalam tubuh siapa saja.

Sekarang kembali kepada sikap kita tiap orang: apakah kita mau memberi peluang virus HIV/AIDS masuk dalam tubuh kita atau tidak? Kalau kita menjawab tidak, maka bagaimana sikap hidup yang harus dibangun dalam perjalanan hidup sehari-hari? Inilah yang seharusnya direfleksikan setiap orang.

Di sini kiranya tidak dibutuhkan jawaban: "harus memakai kondom" atau "ada obat memperpanjang umur". Namun masyarakat adat Mee yang sekaligus sebagai orang beriman tentu akan menjawab: "Setiap orang harus merealisasikan diri sebagai makhluk berakal budi!".


Oleh : Oktovianus Pekei

(Penulis adalah Mahasiswa Semester Akhir Program Pasca Sarjana STFT "Fajar Timur" Abepura, Jayapura)


Sumber:

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=4311

0 komentar:

Translate

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese English French German Spain Italian Dutch
 

Exclusive Mails

exclusivemails.net

Geal Geol